A. Pengertian Singinca’an
Singinca'an adalah suatu bentuk permainan biak
kaccik (anak sambas) yang berusaha meniru aktifitas sosial bermasyarakat orang
dewasa. Jenis permainan ini biasanya dimainkan oleh anak seumuran 4-10 tahun.
Aktifitas / kegiatan yang sering ditiru ini biasanya adalah pesta (adat)
perkawinan, kecemasan dan kebahagian detik-detik saat beranak
(melahirkan), perkampungan mini (rumah-rumahan/dangau), main masak-memasak,
(adat) upacara kematian, hingga main hantu-hantuan dan cerita kerajaan (cerita
rakyat).
Singinca'an
lebih cenderung mirip sandiwara ala anak sambas karena dalam permainan ini
semua anak berbagi peran tokoh dan karakter yang (seolah-olah). Singinca'an
biasa juga disebut beajal dalam masyarakat sambas (beajal=bermain). Tema yang
diangkat dalam permainan ini biasanya juga diadopsi dari film-film yang
ditonton di TV, seperti cerita perang kemerdekaan, malin kundang, dan kisah
heroik seorang pahlawan dalam menumpas kejahatan (zorro, koboi, superboy,
superman, ultraman, satria baja hitam, gaban, power rangers, ninja dll).
Permainan singinca'an selain kelihaian dalam
memerankan karakter seorang tokoh, assesoris dan perlengkapan pendukung lainnya
juga diupayakan semaksimal mungkin. Contohnya dalam memainkan cerita perang
kemerdekaan melawan penjajahan jepang misalnya, tentulah pemain yang berperan
sebagai penjajah jepang harus memakai topi yang panjang pada bagian belakangnya sebagai ciri khas, begitu juga dalam cerita zorro sang anak yang memainkan peran ini biasanya memakai assesoris seperti pedang-pedangan, kuda-kudaan, topi dan ikat kepala ala zorro.
sebagai penjajah jepang harus memakai topi yang panjang pada bagian belakangnya sebagai ciri khas, begitu juga dalam cerita zorro sang anak yang memainkan peran ini biasanya memakai assesoris seperti pedang-pedangan, kuda-kudaan, topi dan ikat kepala ala zorro.
B. Beajal Penganten (Main Pengantin-Pengantinan)
Secara
historis sambas termasuk dalam rumpun melayu sehingga budaya meniru sangat
kental dalam masyarakat sambas (bahasa sambasnye ullok-ullok'an). Hal ini bisa
terlihat dalam permainan anak-anaknya, karena kagum akan kecantikan pengantin
misalnya, maka anak-anak sambas berusaha meniru hal tersebut dalam sebuah
permainan. Lumrah sekali jika main penganten-pengantenan dahulu selalu
dilakukan saat musim kawinan di kampung.
Permainan
ini biasanya suka dimainkan oleh anak-anak yang belum masuk sekolah (anak
ingusan). Dalam permainan ini dua orang anak di pilih menjadi pengantinnya dan
yang lain bertindak sebagai pak lebai atau pengulu, orang tua / mertua
mempelai, pasukan berarak, fotografer, pemain musik (tanjidor), dan
rakyat jelata. Inti dari permainan ini adalah berarak, yaitu saat menggiring
pengantin menuju kediamannya. Sebelum prosesi berarak dilakukan masing-masing
anak saling mempercantik diri dengan bahan dan perlengkapan seadanya.
Proses
make up ini tergolong cukup lama karena bahan-bahan yang dugunakan harus
dicari dan dikumpulkan terlebih dahulu yaitu dari rerumputan, dedaunan dan
bunga-bungaan yang banyak tersedia di semak-semak (rampo'k jeradak) sekitar
kampung. Yang paling mencolok make-up nya tentulah sang pegantin yang biasanya
dihiasi dengan rumput daun seribu di kepala kadang juga diselipi bulu ayam.
Bunga-bungan juga tertata rapi diatas kepala si pengantin perempuan, selain itu
assesoris lainnya juga dibuat sedemikiaan rupa untuk mempercantiknya. Antingnya
adalah buah pohon akasia dan gelangnya terbuat dari anyaman daun kelapa
sedangkan kalungnya dibuat dari daun seribu yang dililikan sedemikian rupa
ditambah beberapa bunga berwarna-warni, untuk selendangnya juga dibuat dari
berbagai jenis rerumputan menjalar dan daun seribu ditambah beberapa hiasan
bunga pula. Sedangkan pengantin pria harus dihias tanpa memakai baju dan
dihiasi dengan beberapa assesoris sepert topi (songko'k) yang terbuat dari daun
ulap (kerambai) di tambah lilitan rumput daun seribu dan diselipkan beberapa
bulu ayam, bulu itik, bulu angsa maupun bulu bianatang lainnya. Selendang juga
dibuat seperti pengantin wanita sedangkan sejata atau kerisnya adalah kayu yang
diselipkan dipinggang atau dipengang sang pengantin. Untuk pengantin pria ini
biasa juga ditambah assesoris hiasan celana berupa daun pisang yang diracik
berumbai-rumbai dan diikatkan di pinggang. Begitulah kira-kira deskripsi
pengantin versi anak-anak pada permainan ini. Pembaca bisa saling membayangkan
betapa kreatifnya anak-anak dalam memainkan permaianan singinca’an ini. Untuk
pemeran tambahan seperti pak lebai, rakyat jelata dan lain sebagainya juga
dihias sedemikian rupa tetapi tak semencolok sang pengantin. Setelah semua
dinyatakan siap maka prosesi berarak dimulai dengan do'a antah berantah dari
seorang yang berperan sebagai pak lebai. Pep...pep..pep..badum...badum...badum
suara musik dari mulut sang pemeran tukang musik dan kedua penganten diarak
ketempat yang telah ditentukan lalu disandingkan. Sang fotografer sibuk
memotret pret...pret dengan siku tangannya untuk mengabadikan gambar.
Begitulah
kira-kira permainan singinca'an ini dimainkan dan diakhiri dengan memuji
mengolok (mengejek) kecantikan sang pengantin lalu kejar-kejaran dan merusak
perhiasan yang susah-susah dibuat tadi.
C. Beajal Antu (Main Hantu-Hantuan)
Singinca'an
variasi ini juga dilakukan didalam rumah atau kamar tidur salah satu anak dan
bercerita tentang orang mati (meninggal) yang hidup kembali menjadi hantu dan
meneror orang yang masih hidup. Permainan ini dimulai dengan ada seorang
yang berperan sebagai orang yang meninggal dunia dan harus segera dilakukan
acara (ritual/adat) kematian. Seluruh warga kampung (pemain) turut berbela
sungkawa dan bersedih atas berita itu lalu nyelawat (menjenguk) orang meninggal
tersebut. Detik-detik dan penyebab kematian diceritakan oleh pihak keluarga
dengan sedih sambil menguraikan air mata. Setelah mayat di tutupi dengan
selembar kain panjang dan seolah-olah telah dikuburkan lalu sebuah
kejadian aneh menghebohkan kampung yaitu mayat orang yang mati tersebut
menghilang. Saat itu juga kabar tersebut meluas dan membuat suasana kampung
menjadi mencekam karena di isu kan bahwa mayat tersebut hidup kembali dan
menjadi hantu bangkit, pocong, sundel bolong, kuntilanak, tuyul, hantu kambe'k,
hantu pak saloi, vampire maupun hantu-hantu lainnya. Ketakutan pemain sangat
terasa disini karena sang hantu tersebut selalu meneror orang yang pernah
berbuat jahat terhadapnya, hantu tersebut ingin membalas dendam. Semua pemain
disarankan agar tidak bersendirian terutama saat malam hari.
Teng...teng...teng.... suara jam lonceng berbunyi menunjukkan jam 12 malam dan
hantu tersebut keluar dari persembunyiannya. Semua anak disini berkumpul karena
takut dan berlarian kesegala arah saat hantu yang mengerikan itu menampakkan
diri. Tidak jarang dalam permainan banyak anak yang berteriak histeris bahkan
menagis gak karuan karena saking takutnya. Sang hantu kadang melompat-lompat
dan terbungkus kain seperti hantu pocong atau bertaring panjang dan
melompat-lompat kaku dengan tangan terbujur kaku kedepan seperti vampire cina
kadang juga ketawa mengakak ala kuntilanak atau mengelurkan suara-suara
menakutkan ala hantu lainnya. Anak yang berhasil ditangkap dan digigit sang
hantu biasanya berubah menjadi hantu pula seperi kisah zombie atau vampire.
Begitulah permainan ini dimainkan hingga semua anak menjadi hantu atau ada
sebagian anak yang tak terkontrol dan menangis histeris seperti orang
kesurupan. Lalu anak yang paling besar menenangkan keadaan dan memberi nasehat
bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh berbuat jahat terhadap orang lain sebab
hantunya akan selalu meneror dan menakut-nakuti mereka.
D. Bedangau (Main Rumah-Rumahan)
Permainan
ini dilakukan dengan membangun rumah-rumahan yang disebut "dangau"
oleh sekelompok anak-anak sambas. Saking banyaknya dangau yang dibuat oleh
anak-anak sehingga dalam main rumah-rumahan ala ini lebih mirip perkampungan
mini. Semua dangau dibuat sendiri oleh anak dengan bahan yang tersedia
disekitar kampung seperti abek atau aor sallat (bambu kecil) atau kayu-kayu
lain untuk tiang dan pondasi, daun pisang, atap bekas atau daun ilalang untuk
atap dangau dan ujung aor sallat, daun pisang bahkan atap bekas untuk
dindingnya. Pada dasarnya rumah-rumah warga dikampung dahulu hampir seluruhnya
menggunakan atap daun sagu (rumbia) dan harus diganti minimal setahun sampai
dua tahun sekali tidak seperti sekarang yang hampir seratus persen menggunakan
atap seng.
Dangau
ini biasanya di bangun di sebuah tanah kosong yang tidak di garap
pemiliknya namun kadang juga dibangun disamping rumah penduduk. Pertama
pondasi dangau dibuat dengan menancapkan kayu kuat atau abek yang besar untuk
tiangnya sebanyak 4-9 buah sebagai tiangnya. Lalu dipasang kayu melintang di
atas tiang-tiang tersebut dan diikat dengan tali dari pelepah pisang yang sudah
kering atau tali-tali lainya. Setelah tiang-tiang tersebut terhubung satu sama
lain dan kerangka dangau sudah terbentuk lalu dibuat bumbungan dangau dan
tempat mengikat atap dangau. Kemudian atap dipasang begitu juga dengan
dindingnya. Untuk lantai biasanya disusun papan bekas atau pelepah sagu dan
dialasi denga tikar pandan atau daun pisang dan dedaunan lebar lainnya.
Dangau
yang beratap daun pisang adalah rumah orang paling miskin yang selalu kesusahan,
dan dangau yang beratapkan rumbia baik itu atap rumbia bekas maupun dibuatnya
sendiri adalah rumah orang yang berekonomi menengah. Sedangkan dangau yang
berdindingkan dan beratapkan rumbia serta memiliki bawah rumah adalah rumah
mewah miliknya orang kaya. Sedangkan dangau unik yang beratapkan daun lalang
(ilalang) kami sebut rumah pendatang karena lebih mirip rumahnya orang irian
(papua).
Dangau
kami pada umumnya terdiri dari 4 ruangan utama yaitu : Pertama ruang tamu untuk
tempat teman sepermainan yang ingin bertamu (bahasa sambasnya maing); Yang
kedua adalah ruang serbaguna untuk tempat santai, menonton tv, atau tempat
makan jika di dapur tidak memungkinkan, Ruang selanjutnya adalah kamar tidur
yang bisa ditempati oleh 2 orang dengan syarat tidak membujurkan kaki. Ruangan
terahir adalah dapur untuk tempat memasak dan menyimpan pecah belah. Kira-kira
ukuran dangau kami sekitar 2x4 meter dengan tinggi tidak mencapai 1,2 m. Jadi kalau
mau keluar masuk didangau tidak berdiri.
Setelah
dangau selesai dibangun lalu semua anak yang bermain mencari dan membuat
bahan-bahan untuk memasak. Karena makanan dalam permainan seluruhnya bohongan
maka peralatannya juga bohongan, untuk piring, mangkuk, sendok dan pecah belah
lainnya misalnya menggunakan bahan dari tempurung kelapa, kaleng bekas
(canting), bekas tempat minyak rambut, bekas tempat bedak, dan media-media
bekas lainnya kadang juga barang-barang pecah belah ini dibuat sendiri dengan
tanah liat (tanah kuning) yang dibentuk dan dikeringkan. Untuk sayur mayurnya
adalah dari pakis-pakisan dan dadaunan muda (pucuk) rerumputan/pepohonan,
bawangnya adalah siung kumpai air dan mie nya adalah empulur pakis-pakisan yang
telah ditumbuk. Sedangkan untuk makanan pokok (nasi) dibuat dari tanah kering
yang dihaluskan (ditumbuk). Tanah kering ini ditumbuk dalam sebuah tempurung
kelapa dan dihaluskan dengan alu (bahasa sambasnya alo'k) dari baterai bekas
ataupun kayu bulat lainnya yang mirip alu. Tanah yang halus seperti debu itulah
yang kami sebut beras dalam permainan ini. Jika musim penghujan turun maka
tanah kering untuk bahan dasar beras ini kami dapatkan dari sarang serangga
yang banyak terdapat didalam rumah (biasa kami sebut sarang angkup-angkup).
Setelah
semua bahan dan perlengkapan mencukupi ritual yang dilakukan adalah meracik dan
menghidangkan makanan. Untuk membuat sayur mayurnya, dedaunan muda (pucuk)
rerumputan tadi cukup dipotong-potong halus lalu di taruh dalam sebuah media
lalu siap hidangkan karena sudah kami anggap matang. Sedangkan nasinya adalah
tanah yang telah dihaluskan tadi dan beri air sedikit. Setelah makanan ini
dihidangkan maka si emak mencari dan mengumpulkan suami dan anak-anaknya untuk
makan bersama. Karena ini bersifat bohongan maka makannya pun bohongan.
Dalam
permainan ini ada juga yang berperan sebagai pedagang, yaitu seorang yang
menjual barang-barang keperluan sehari-hari kepada pembeli. Kesibukan pemeran
pedagang dalam permainan ini adalah mencari dan mengumpulakn sayur-mayur,
membuat beras dan membuat barang pecah-belah dari tanah liat. Sedangkan pembeli
sibuk mengumpulkan dan mencari uang sebagai alat transaksi. Namanya juga
permainan maka duit / uangnya juga main-main yaitu daun nangka. Untuk daun nangka
yang paling besar biasanya kami nilai seharga Rp. 5000 dan yang berukuran
sedang seharga Rp. 1000 sedangkan yang kecil seharaga 500 rupiah. Untuk daun
nagka yang kuning yaitu daun nangka yang sudah jatuh dengan sendirinya ketanah
kami nilai seharga Rp 100 kadang juga dianggap uang lama jadi tidak laku.
Dalam
permainan ini tidak jarang ada sebagian anak yang membawa makanan beneran yaitu
sejenis rujak yang biasa kami sebut ratahan. Ratahan favorit kami adalah buah
temabal yaitu buyung buah nagka yang berbulu karena gagal menjadi buah besar.
Temabal ini terasa agak kelat dan rada-rada manis, jika ditambah adonan bumbu
dari kecap manis, kecap asin, asam jeruk dan cabe maka temabal yang diiris
tipis, tipis ini menjadi ratahan yang sangat enak. Temabal dikumpulkan sambil
memetik daunnya yang berfungsi sebagai duit dalam permainan ini. Selain itu buah-buahan
dari tumbuhan liar juga segaja kami kumpulkan untuk dimakan disini seperti
rattup, takkang, buah kemenyan, buah bunga pasak, buah jambu rekan, selimapu
dan lain sebagainya. Kadang juga batang rumput mallai dan akar lalang juga dimakan
disini yang biasa disebut sebagai tebu. Adapun barang-barang ini kami dapat kan
sambil mengumpulkan barang-barang kebutuhan pokok dalam permainan dangau yang
telah di uraikan diatas. Tidak jarang juga kadang ada sebagian anak yang
sengaja membawa berbagai jenis buah-buahan dari rumahnya untuk dimakan disini
seperti jambu biji, jambu air, jambu bol, jambu botol, ceremai, mentimun,
nenas, rambutan, kelapa muda, dan lain sebagainya. Termasuk juga berbagai jenis
kue-kuean juga diboyong dari rumah untuk dimakan bersama disini seperti sagon,
amping, cance, apam, ukal pisang, ukal inti, dan banyak lagi deh hingga nasi
goreng (biasa kami sebut nasi aro'k) juga suka dibawa ke dangau ini.
Permainan
ini dimainakan cukup lama kadang berminggu-minggu bahkan mencapai sebulanan.
Dangau yang dibuat tidak sembarangan sebab itu kokoh dan mampu bertahan paling
cepat seminggu. Proses membuatnya saja kadang memakan waktu lebih dari sehari.
Permainan ini biasaya berahir setelah dangau kami rusak dimakan usia atau rusak
diterjang badai. Jika hujan turun misalnya kami paling suka berada di dangau
buatan kami ini, dengan alasan pertama untuk mengamankan beras, tikar pandan
dan barang-barang lainnya agar tidak basah, yang kedua untuk memeriksa apakah
atapnya ada yang bocor dan yang terahir untuk menguji kekokohannya. Hal ini
tidah dilakukan jika hujan turun disertai angin kencang sebab biasanya dangau tidak
mampu bertahan. Permainan ini juga berahir karena dangau kami dirusak orang tak
bertanggung jawab dengan alasan merusak keindahan pemandangan atau terjadi
perubahan musim permainan.
E. Beajal Bemasak (Main Masak-Masakan)
Dalam
singinca'an memasak versi ini dilakukan dengan memasak sungguhan. Yaitu memasak
nasi dan segala lauk pauknya. Kayu bakar, tempat memasak, dan barang-barang
untuk dimasak tentu penting sebelum melakukan permainan ini. Pertama kayu bakar
biasa dikumpulkan dari kekayuan kering (ranting kayu) dan dipotong kecil-kecil.
Untuk tungku memasak biasa kami buat dari 3-4 buah batu atau pelepah sagu muda
yang ditancapkan ditanah, kadang juga kompor mini segaja dibuat dengan menanam
sebuah kaleng susu bekas lalu diisi minyak tanah dan sedikit potongan kayu yang
kecil-kecil. Media memasak juga menggunakan kaleng bekas namun kadang juga
peralatan dapur orang tua dirumah juga terpaksa diboyong demi permainan ini
seperti kuali kecil dan kenceng mini. Adapun barang-barang untuk dimasak
seperti bumbu dan beras sepenuhnya diboyong dari rumah kecuali sayur-mayurnya
dicari sendiri di sekitar kampung.
Permainan
ini biasanya dimainkan di sebuah tempat yang jauh dari pantauan orang tua
kadang juga dangau lah yang dijadikan tempat memainkan permainan ini.
Sebenarnya orang tua, tidak pernah merestui permainan ini sebab itulah banyak
anak-anak Sambas yang sembunyi-sembunyian dalam memainkannya. Lumrah sekali
jika orang tua melarang permainan ini sebab rawan terjadi kecelakaan dan
kebakaran selain itu barang-barang dapur orang tua seperti garam, micin, cabe
dan sebagainya menjadi cepat habis dan pearalatan dapur orang tua jadi banyak
yang rusak bahkan hilang. Tetapi jika sudah musimnya, mereka tidak peduli lagi
dengan bahaya dan segala ancaman. Permainan ini biasanya berahir setelah lokasi
main telah diketahui orang tua lalu dirusak atau terjadi kecelakaan seperti
kebakaran semak belukar.
No comments:
Post a Comment